Komunikasi yang Sehat dalam Keluarga Kristen
JAKARTA, Pantekostapos.com — Keluarga adalah inti terkecil di masyarakat, tetapi menjadi penentu mau dibawa ke mana masyarakat tersebut. Dalam Kekristenan, keluarga Kristen adalah inti dari gereja sekaligus juga bagian dari masyarakat. Supaya gereja maju, maka keluarga Kristen harus memiliki komunikasi yang sehat di antara anggota-anggota keluarganya. Hal tersebut pun akan berdampak juga pada masyarakat di mana keluarga Kristen berada.
Keluarga Kristen berangkat dari pemahaman bahwa Allah menciptakan keluarga (Kejadian 1:26-28), dalam hal ini manusianya, seturut dengan gambar Allah (Imago Dei). Pemahaman ini penting dan menentukan.
Dalam keluarga, Tuhan mengaruniakan anak-anak sebagai penerus keturunan manusia. Keturunan ini merupakan hasil persekutuan suami-istri yang diberkati Tuhan. Banyak orang menganggap bahwa kebahagiaan keluarga terletak pada anak-anak. Itu ada benarnya, tetapi pemahaman yang jauh lebih dari itu adalah bahwa anak-anak diberikan Tuhan agar kita bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Mengapa? Karena melalui anak-anaklah, orangtua menyadari bahwa Tuhan sumber kehidupan di mana kita memperoleh kehidupan. Pengabdian, rasa syukur, dan rasa hormat kita lakukan dalam cara kita mendidik dan mengasuh anak-anak. Pola asuh dan pola didik Tuhanlah yang kita terapkan kepada anak-anak kita.
Bagaimana dengan keluarga Kristen yang tidak dikaruniai anak? Hal itu seharusnya tidak menjadi masalah bagi keluarga Kristen. Kita harus menyadari bahwa Tuhan mengaruniakan anak bukan semata-mata untuk kepentingan kita, tetapi yang terutama untuk kemuliaan Tuhan. Jika sebuah keluarga Kristen menyadari bahwa panggilannya adalah sebagai Imago Dei, maka relasi atau komunikasi yang dibangun adalah antara suami-istri dan Allah. Tuhan dapat memberikan anak melalui persekutuan suami-istri yang telah disatukan-Nya atau melalui adopsi anak atas kesepakatan suami-istri dengan melibatkan Tuhan di dalamnya.
Dalam keluarga Kristen, suami-istri harus membangun komunikasi yang baik dan sehat. Komunikasi yang dibangun dua arah, baik vertikal (dengan Tuhan) maupun horizontal (antara orangtua dan anak). Prinsip Imago Dei tetap menjadi pedoman dalam membangun komunikasi tersebut.
Tidak dipungkiri, keluarga masa kini sudah terjebak dalam arus modernisasi dan kecanggihan teknologi. Di rumah, kita mungkin saja memiliki kelengkapan teknologi seperti televisi, telepon (hand phone), komputer, home theater, dan internet. Meskipun kelengkapan teknologi tersebut mampu memberikan hiburan yang lengkap bagi kita, tetapi kita adalah keluarga yang sepi. Masing-masing anggota keluarga terlena dengan kenikmatan sendiri. Kita seperti “membisu”, meskipun berkomunikasi. Kita menjadi terasing satu sama lain.
Lantas di manakah letak kesalahannya? Kita tidak dapat menyalahkan perkembangan teknologi yang begitu cepat. Yang perlu kita kritik adalah pola relasi (hubungan) dan komunikasi kita, baik secara vertikal maupun horizontal. Sejauh mana intensitas pola relasi dan komunikasi tersebut? Seberapa banyak waktu yang kita sediakan untuk mengembangkan dan bahkan menciptakan pola relasi dan komunikasi yang mampu menjawab tantangan zaman?
Mungkin kita dicap “ketinggalan zaman” manakala kita ketinggalan informasi dan perkembangan terakhir (update). Justru, makin kita berkurang intensitas relasi dan komunikasi secara vertikal dan horizontal, kita tidak ketinggalan zaman. Mengapa? Karena Alkitab, sebagai media komunikasi dalam membangun pola relasi dan komunikasi, tidak lekang terhadap kemajuan zaman. Bahkan kita akan kehilangan kesempatan atau momen berharga intim bersama Tuhan dan keluarga (lihat Efesus 5:16: “…. pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat”).
Kalau kita kehilangan kesempatan mempergunakan waktu yang ada membangun relasi dan komunikasi yang sehat di keluarga kita secara Kristiani dan alkitabiah, maka kita tidak mampu menghadirkan Imago Dei tersebut di keluarga kita. Manakah yang kita pilih: ketinggalan zaman atau kehilangan kesempatan dan momen berharga?
Kitalah sendiri yang menjawabnya bukan yang lain. Karena itu, mari kita membangun pola relasi dan komunikasi yang sehat seperti ini: Dari hati ke hati untuk Tuhan dan keluargaku. Bungkuslah itu dengan kasih. Niscaya kita akan memiliki keluarga yang berintegritas, bermoralitas, dan berspiritualitas.
Penulis: Boy Tonggor Siahaan